MAKALAH
Prosesi Acara Kirab Budaya “Dugderan”
Oleh:
Nama: Nigitha Joszy
NIM: 13040112140081
Kelas: D
Jurusan Ilmu perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
belakang
Sudah sejak lama umat Islam berbeda pendapat dalam menentukan
hari dimulainya bulan Puasa, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan
kebenarannya sendiri-sendiri, hal tersebut sering mendapat perhatian dari
berbagai pihak. Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupati
RMTA Purbaningrat. Beliaulah yang pertama kali memberanikan diri menentukan mulainya
hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten
dibunyikan, upacara membunyikan suara bedug
(Dug..dug..dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh
belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (der..der..der...)
sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian
menjadikan tradisi atau kesenian yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung
Aryo Purboningrat itu diberi nama "dugderan". Dalam tradisi ini ada
beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan oleh warga Semarang. Salah satunya
yaitu Pawai Dugderan Pawai Dugderan, merupakan puncak acara menyambut
datangnya bulan Puasa.
2. Permasalahan
1) Bagaimana
prosesi acara kirab budaya dugderan?
2) Apa
makna dugderan?
3) Apakah
acara dugderan itu begitu penting bagi masyarakat Semarang sekarang ini?
3. Tujuan
1. Untuk
mengetahui prosesi acara kirab budaya dugderan
2. Untuk
mengetahui makna dari dugderan yang sebenarnya bagi masyarakat Semarang
3. Untuk
mengetahui seberapa penting acara dugderan tersebut diadakan bagi masyarakat
Semarang
4. Metode
Pengumpulan Data
Dalam
menyelesaikan tugas kelompok ini, kami mengumpulkan data melalui metode
1. Wawancara
2. Pengumpulan
data melalui internet
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Prosesi
acara kirab budaya dugderan
Secara
empiris, “ Dugderan “ merupakan upacara tradisional Kota Semarang yang sudah
dilakukan sejak jaman dahulu, yang dilaksanakan setiap sebelum bulan Ramadhan.
Kegiatan ini biasanya diawali dengan adanya pasar rakyat yang dimulai seminggu
sebelum dugderan, dan biasanya diramaikan dengan banyaknya pedagang dari
berbagai daerah yang menggelar barang daganganya, seperti ; bermacam-macam
makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan, gerabah.
Selain
itu ada pula karnaval yang diikuti mobil-mobil hias dengan berbagai tema,
diantaranya : pakaian adat yang mencerminkan bhinneka tunggal ika, kesenian
khas Kota Semarang, cerita tradisional Kota Semarang, drum band, dan
yang menjadi ciri khas dari karnaval ini, “ Warak Ngendok “. Warak Ngendok
adalah sejenis binatang khayalan berkepala naga namun bertubuh kambing yang
berjalan beriringan keliling Kota Semarang. Sebelum karnaval dimulai biasanya
telah banyak warga yang berkumpul ditepi jalan – jalan besar seperti jalan
Pahlawan, jalan Pandanaran, sampai jalan Pemuda. Bagi anak – anak kecil
karnaval ini dapat menjadi pengalaman tersendiri yang menyenangkan karena
banyaknya kendaraan hias yang menarik. Sebelum pelaksanaan pawai
“dugderan” dibunyikan bedug dan meriam
di Kabupaten, sebelumnya telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1.
Bendera.
2.
Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2
(dua) pucuk meriam yang akan dibunyikan.
3.
Obat inggris (mesiu) dan kertas Koran
yang merupakan penyelenggaraan meriam.
4.
Gamelan disiapkan di pendopo kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap ditempat:
a.
Pembawa bendera
b.
Petugas yang membunyikan meriam dan
bedug
c.
Niaga ( pengrawit )
d.
Pemimpin upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa
tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya
puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid
dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.
B. Makna
dugderan
Dari dasar empiris
dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat
diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan
sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh
pemerintah Kota Semarang sebagai referensi pariwisata Kota Semarang.
Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan
pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak
tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan
meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan
Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Tahapan
pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari
kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan
Ramadhan. Namun, upacara
adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi
antara sesama warga Kota Semarang maupun dengan warga kota lain, atau bahkan
negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, serta dengan Pemerintah
Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai
sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata
budaya Kota Semarang.
Jadi, upacara tradisional yang pada awalnya hanya
bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain
yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata
budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.
C. Pentingnya
dugderan
Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara
tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ”
ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara
tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan
kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara
tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal
upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara
tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat
sebuah realitas
ide.
Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara
tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda.
Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu
yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota
Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu. Namun upacara
tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama
kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak
ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan
istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana
letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman,
imam masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan
menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa, lalu
beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan
bahasa Jawa.
Pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ”
mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada
makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan
Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan
terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti gamelan
. Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara
tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya nilai sosial, sebagai
sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah, nilai ekonomi,
pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai
ajang promosi Kota Semarang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta
rakyat dan sudah menjadi tradisi yang cukup kuat dengan adanya perlombaan,
karnaval,dan tarian. Tetap saja dugderan tidak lepas dari puncak ritualnya
berupa tabuh bedug dan kholaqoh yang menjadi akhir dari tradisi yang sudah
bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak ritual ini bukan semata-mata
sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat). Namun salah satu budaya Islam
Semarang yang punya pesan. Pertama, salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya
tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah pengumunan dimulainya bulan suci
Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan dengan ditabuhnya bedug yang menjadi satu
“tetenger”. Juga, pemukulan bedug itu jadi konsensus yang meneguhkan atau
memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada esok
hari, apalagi umat Islam tidak hanya di Semarang. Sehingga kerapkali memiliki
perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
B.
Saran
Masyarakat
harus mampu mempertahankan tradisi dugderan agar tradisi ini tetap bertahan
dari waktu ke waktu. Sehingga menjadi
warisan budaya yang patut dijaga dan dilestarikan. Sebagai warga Negara yang
baik seharusnya kita ikut melestarikan budaya dugderan yang menjadi asset
penting bagi Negara.
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.pajak.go.id/content/news/dugderan-tradisi-kota-semarang-menyambut-bulan-puasa.
22 mei 2013
http://sosbud.kompasiana.com/2012/07/20/tradisi-dugderan-sambut-ramadhan-di-semarang-478449.html.
22 mei 2013