Pages

Senin, 08 Juli 2013

MAKALAH BUDAYA DUGDERAN

MAKALAH
Prosesi Acara Kirab Budaya “Dugderan”
Oleh:
Nama: Nigitha Joszy
NIM: 13040112140081
Kelas: D
Jurusan Ilmu perpustakaan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
           
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Sudah sejak lama umat Islam berbeda pendapat dalam menentukan hari dimulainya bulan Puasa, masing-masing pihak biasanya ingin mempertahankan kebenarannya sendiri-sendiri, hal tersebut sering mendapat perhatian dari berbagai pihak. Hal ini terjadi pada tahun 1881 dibawah Pemerintah Kanjeng Bupati RMTA Purbaningrat. Beliaulah yang pertama kali memberanikan diri menentukan mulainya hari puasa, yaitu setelah Bedug Masjid Agung dan Meriam di halaman Kabupaten dibunyikan, upacara membunyikan suara bedug (Dug..dug..dug) sebagai puncak "awal bulan puasa" sebanyak 17 (tujuh belas) kali dan diikuti dengan suara dentuman meriam (der..der..der...) sebanyak 7 kali. Dari perpaduan antara bunyi dug dan der itulah yang kemudian menjadikan tradisi atau kesenian yang digagas oleh Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat itu diberi nama "dugderan". Dalam tradisi ini ada beberapa kegiatan yang biasanya dilakukan oleh warga Semarang. Salah satunya yaitu Pawai Dugderan  Pawai Dugderan, merupakan puncak acara menyambut datangnya bulan Puasa.
2.      Permasalahan
1)      Bagaimana prosesi acara kirab budaya dugderan?
2)      Apa makna dugderan?
3)      Apakah acara dugderan itu begitu penting bagi masyarakat Semarang sekarang ini?

3.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui prosesi acara kirab budaya dugderan
2.      Untuk mengetahui makna dari dugderan yang sebenarnya bagi masyarakat Semarang
3.      Untuk mengetahui seberapa penting acara dugderan tersebut diadakan bagi masyarakat Semarang

4.      Metode Pengumpulan Data
Dalam menyelesaikan tugas kelompok ini, kami mengumpulkan data melalui metode
1.      Wawancara
2.      Pengumpulan data melalui internet

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Prosesi acara kirab budaya dugderan
Secara empiris, “ Dugderan “ merupakan upacara tradisional Kota Semarang yang sudah dilakukan sejak jaman dahulu, yang dilaksanakan setiap sebelum bulan Ramadhan. Kegiatan ini biasanya diawali dengan adanya pasar rakyat yang dimulai seminggu sebelum dugderan, dan biasanya diramaikan dengan banyaknya pedagang dari berbagai daerah yang menggelar barang daganganya, seperti ; bermacam-macam makanan, minuman, mainan anak-anak, celengan, gerabah.
Selain itu ada pula karnaval yang diikuti mobil-mobil hias dengan berbagai tema, diantaranya : pakaian adat yang mencerminkan bhinneka tunggal ika, kesenian khas Kota Semarang, cerita tradisional Kota Semarang, drum band, dan yang menjadi ciri khas dari karnaval ini, “ Warak Ngendok “. Warak Ngendok adalah sejenis binatang khayalan berkepala naga namun bertubuh kambing yang berjalan beriringan keliling Kota Semarang. Sebelum karnaval dimulai biasanya telah banyak warga yang berkumpul ditepi jalan – jalan besar seperti jalan Pahlawan, jalan Pandanaran, sampai jalan Pemuda. Bagi anak – anak kecil karnaval ini dapat menjadi pengalaman tersendiri yang menyenangkan karena banyaknya kendaraan hias yang menarik. Sebelum pelaksanaan pawai “dugderan”  dibunyikan bedug dan meriam di Kabupaten, sebelumnya telah dipersiapkan berbagai perlengkapan berupa :
1.      Bendera.
2.      Karangan bunga untuk dikalungkan pada 2 (dua) pucuk meriam yang akan dibunyikan.
3.      Obat inggris (mesiu) dan kertas Koran yang merupakan penyelenggaraan meriam.
4.      Gamelan disiapkan di pendopo kabupaten.
Adapun petugas yang harus siap ditempat:
a.       Pembawa bendera
b.      Petugas yang membunyikan meriam dan bedug
c.       Niaga ( pengrawit )
d.      Pemimpin upacara
Upacara Dugderan dilaksanakan sehari sebelum bulan puasa tepat pukul 15.30 WIB. Pimpinan Upacara berpidato menetapkan hari dimulainya puasa dilanjutkan berdoa untuk mohon keselamatan. Kemudian Bedug di Masjid dibunyikan 3 (tiga) kali. Setelah itu gamelan Kabupaten dibunyikan.
B.     Makna dugderan
Dari dasar empiris dan data literature yang ada, makna simbolik dari upacara ini mulai dapat diterjemahkan secara operasional, data literature yang diperoleh diasumsikan sudah dapat mewakili sebuah sumber yang terpercaya karena diterbitkan oleh pemerintah Kota Semarang sebagai referensi pariwisata Kota Semarang. Terbentuknya sebuah pola kegiatan upacara tradisional dengan segala tahapan dan pendukungnya ternyata sudah ada sejak lama ( berdasar literatur : sejak tahun 1881 ). Tahapan ini diakhiri dengan pemukulan bedug dan membunyikan meriam sebagai tanda bagi umat muslim bahwa esok hari kegiatan puasa di bulan Ramadhan sudah dapat mulai dilaksanakan.
Tahapan pemukulan bedug dan membunyikan meriam ini dapat dikatakan sebagai inti dari kegiatan upacara tradisional ini yaitu sebagai tanda dimulainya puasa bulan Ramadhan. Namun, upacara adat ini juga dapat dimaknai sebagai kegiatan untuk menjalin tali silaturahmi antara sesama warga Kota Semarang maupun dengan warga kota lain, atau bahkan negara lain yang datang untuk menyaksikan kegiatan ini, serta dengan Pemerintah Kota. Selain itu, pada masa sekarang, upacara adat ini juga digunakan sebagai sarana promosi Kota Semarang karena sudah dijadikan salah satu aset pariwisata budaya Kota Semarang.
Jadi, upacara tradisional yang pada awalnya hanya bermakna sebagai tanda awal bulan puasa / Ramadhan, kini memiliki makna lain yang tidak menghilangkan makna awal, yakni sebagai sarana silaturahmi, wisata budaya, dan sarana promosi Kota Semarang.
C.     Pentingnya dugderan
Kini jaman telah berubah dan berkembang, namun upacara tradisional ini masih tetap dilestarikan. Dengan adanya berbagai makna yang ” ternyata ” sangat berguna pada masa sekarang, tahapan dan pola upacara tradisional yang terjadi pada masa lalu dijadikan sebuah ide untuk melakukan kegiatan yang sama di masa sekarang. Namun pada masa sekarang, upacara tradisional khas Kota Semarang ini tidak dilaksanakan persis layaknya pada awal upacara ini dilaksanakan. Walaupun demikian, makna dan inti dari upacara tradisional Dugderan ini tetap tidak berubah, dari sinilah dapat terlihat sebuah realitas ide.
Perbedaan ini terjadi pada lokasi pelaksanaan upacara tradisional karena kini pusat pemerintahan pindah ke Balaikota di Jl. Pemuda. Upacara ini pada masa sekarang dilaksanakan di halaman Balaikota pada waktu yang sama, yaitu sehari sebelum bulan Ramadhan dan dipimpin oleh Walikota Semarang yang menggantikan peran sebagai Adipati pada masa lalu. Namun upacara tradisional ini juga masih tetap dilaksanakan sama seperti ketika awal pertama kali dilaksanakan, dengan diringi arak-arakan maskot hewan khas dugderan warak ngendok dan beberapa orang yang bergaya prajurit pada masa lalu. Walikota dan istri yang memerankan tokoh Bupati berjalan menuju Masjid Besar Kauman dimana letak pusat pemerintahan pada masa itu. Setelah tiba di Masjid Besar Kauman, imam masjid sudah siap untuk menyambut Walikota yang selanjutnya berjalan menemui ulama – ulama yang sebelumnya sudah menentukan awal puasa, lalu beberapa saat kemudian Walikota mengumumkan hasil penentuan awal puasa dengan bahasa Jawa.
Pada awalnya, upacara tradisional ini ” hanya ” mengandung nilai keagamaan, dan kebudayaan. Nilai keagamaan dapat terlihat pada makna dan tujuan awal upacara tradisional ini, yakni sebagai penanda awal bulan Ramadhan yang merupakan bulan suci umat muslim, sedangkan nilai kebudayaan terlihat dari pengiring upacara berupa budaya dan kesenian jawa seperti gamelan . Namun pada masa sekarang, seiring dengan kemajuan pola pikir manusia, upacara tradisional ini memiliki nilai yang lebih, diantaranya nilai sosial, sebagai sarana silaturahmi antar warga, dan warga dengan Pemerintah, nilai ekonomi, pasar rakyat dapat digunakan warga ( pedagang ) untuk mengais rezeki, sebagai ajang promosi Kota Semarang.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Meski dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat dan sudah menjadi tradisi yang cukup kuat dengan adanya perlombaan, karnaval,dan tarian. Tetap saja dugderan tidak lepas dari puncak ritualnya berupa tabuh bedug dan kholaqoh yang menjadi akhir dari tradisi yang sudah bertahan seabad lebih itu. Karena itu, puncak ritual ini bukan semata-mata sekedar sebagai tradisi (kesenian rakyat). Namun salah satu budaya Islam Semarang yang punya pesan. Pertama, salah satu pesan yang cukup kuat digelarnya tradisi (atau budaya) dugderan ini adalah pengumunan dimulainya bulan suci Ramadhan. Pengumunan itu dilambangkan dengan ditabuhnya bedug yang menjadi satu “tetenger”. Juga, pemukulan bedug itu jadi konsensus yang meneguhkan atau memberikan justifikasi ketetapan jatuhnya tanggal 1 bulan Ramadhan pada esok hari, apalagi umat Islam tidak hanya di Semarang. Sehingga kerapkali memiliki perbedaan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan.
B.     Saran
Masyarakat harus mampu mempertahankan tradisi dugderan agar tradisi ini tetap bertahan dari waktu  ke waktu. Sehingga menjadi warisan budaya yang patut dijaga dan dilestarikan. Sebagai warga Negara yang baik seharusnya kita ikut melestarikan budaya dugderan yang menjadi asset penting bagi Negara.

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar