Pages

Rabu, 10 April 2013

Teknologi Tuntut Perkembangan Media


TEKNOLOGI TUNTUT PERKEMBANGAN MEDIA

Dampak IT terhadap Proses Penerbitan Buku pada Umumnya.
Perkembangan teknologi informasiyang pesat memberikan peluang serta tantangan dalam berbagai bidang kehidupan, salah satunya adalah dalam proses penerbitan buku. Bermula dari ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg pada tahun 1455, yang kemudian berkembang dengan sentuhan inovasi dalam teknologi percetakan dalam upayanya memperoleh prinsip efektivitas serta efisiensi dalam proses penerbitan buku. Mesin cetak Guttenberg dengan fungsi sederhana menjadi titik awal dimungkinkannya proses pencetakan buku dilakukan dalam jumlah yang lebih besar, lebih cepat, dan lebih mudah dibandingkan saat dilakukan dengan cara menulisnya. Inovasi dalam teknologi pencetakan berupa computer, mesin reprografi serta internet berimplikasi besar memberikan perubahan dalam proses penerbitan buku serta distribusinya. Sulistyo (2000) menjelaskan bahwa:
“Teknologi yang diperlukan untuk mencetak buku seperti mesin cetak dan mesin piƱata huruf sangat mudah diperoleh dan tidak terlalu mahal dan dapat terjangkau bagi sebagian negra. Demikian juga kertas dan bahan baku lain yang diperlukan untuk memproduksi buku pada umumnya tersedia, meskipun harga kertas berkualitas untuk mencetak cenderung sangat berfluktuasi. Inovasi teknologi bru, seperti penerbitan dengan desktop publishing dengan bantuan computer, reprografi, dan lain-lain menurunkan biaya produksi buku di wilayah-wilayah ketika teknologi ini dapat diperoleh, buku dapat didistribusikan dengan amat mudah”
Perkembangan teknologi informasi memberikan dampak pada beberapa kegiatan dalam proses penerbitan buku, diantaranya adalah kegiatan editing, formatting, marketing hingga teknik reprografi yang berkembang.
Komputer memberikan kemudahan dalam pelaksanaan proses editing dan formatting sebagai salah satu tahap dalam proses penerbitan buku menjadi lebih mudah. Kamus besar bahasa Indonesia (1997) mendefinisikan “editing adalah mempersiapkan naskah yang siap cetak atau terbit dengan memperhatikan segi ejaan, diksi, dan sstruktur kalimat”. Naskah yang sudah melalui tahap editing selanjutnya memasuki tahap formatting. Sulistyo (2000) mendefinisikan “formatting adalah setting huruf dan penyusunan halaman naskah yang sudah diset dikembalikan kepada penulis untuk diperiksa kembali jikalau masih ada kesalahan ejaan dan tanda baca”. Keberadaan computer serta software dalam bentuk program yang canggih juga memudahkan bagian artistic dlam proses penerbitan buku untk membuat desain cover buku agar lebih bagus dan menarik. Cover merupakan tampilan luar yang akan memberikan kesan pertamma yang ikut menentukan penilaian dan keputusan selanjutnya, meski ada pepatah yang mengatakan Don’t Judge the Book by It’s Cover. Sulistyo (2000) menjelaskan “sampul adalah nilai jual, sekaligus mencerminkan substansi buku dan bahkan karakter penulisnya”.
Inovasi yang berkembang dalam teknologi penerbitan selanjutnya adalah mesin fotocopy. Mesin fotocopy merupakan salah satu mesin reprografi yang diminati banyak orang ketika menggandakan dokumen yang dibutuhkannya karena memungkinkan untuk membuat salinan sebuah dokumen dengan cepat dan biaya yang lebih murah dibandingkan harus membeli lagi dokumen asli yang telah melalui proses penerbitan legal namun dengan harga yang lebih mahal. Penyelenggaraan pendidikan juga tidak luput memanfaatkan fotocopy bahan ajar karena alasan keterbatasan finansial yang diharapkan meringankan bagi peserta didik.  Kondisi perekonomian Indonesia sebagai negara berkembang masih dihadapkan pada keterbatasan daya beli masyarakat dengan beragam kebutuhan utama yang tidak dapat ditunda pemenuhannya sehingga membeli buku masih menjadi kebutuhan ketika ada pendapatan yang berlebih. Menjadi dilematis karena hak cipta belum memperoleh kejelasan, di sisi lain fotocopy dalam kaitannya dengan hak cipta semakin ditoleransi secara sepihak. Sulistyo (2000) menyebutkan “di beberapa negara, pemakai fotokopi harus membayar kepada pemegang hak cipta. Di beberapa negara yang lain, terutama swedia, penerbit dan pengarang dibayar royaltinya berdasarkan pemakaian buku di perpustakaan”. Dalam pembahasan lainnya Sulistyo (2000) menyebutkan “tentu hak cipta melindungi pemilik hak intelektual dan kadang-kadang sulit bagi orang-orang di negara-negara yang mempunyai daya beli terbatas dan hanya sedikit sumber penerbitan untuk mendapatkan akses pada buku-buku. Hak cipta, dalam hal ini, memperkuat sistem ketidaksetaraan pengetahuan”.
Internet semakin memperlengkap fungsi komputer yang awalnya membantu pelaksanaan ‘fungsi editorial’ ditambah lagi dengan ‘fungsi marketing’ sehingga memungkinkan pemasaran secara internasional sejalan dengan hadirnya globalisasi. Bagi penerbit, kehadiran internet tentu memberikan peluang untuk memperluas pemasaran buku, namun juga memberikan tantangan karena kompetisi perebutan pangsa pasar semakin terbuka sehingga penerbit harus dapat menampilkan cara penawaran yang menarik dan berbeda. Okezone.com merupakan contoh pemasaran buku secara online dengan memanfaatkan jaringan internet. Cara pemasaran lain yang dilakukan melalui internet diungkapkan oleh Sulistyo (2000) : “banyak penerbit melengkapi usaha penjualan buku melalui toko buku dengan direct marketing, pemasaran langsung. Di amerika, penerbit menengah dan besar umumnya mengembangkan klub membaca. Konsumen menjadi anggota klub dan secara teratur menerima informasi mengenai buku-buku baru yang akan diterbitkan”. Dari data tersebut ditunjukkan bahwa kehadiran internet menjadikan penerbit semakin giat menyajikan informasi beragam buku yang ditawarkan, dan memfasilitasi kenyamanan konsumen dengan menawarkan kegiatan yang interaktif sebagai inovasi dalam konsep pemasarannya.
Saat ini, setiap orang dapat menjadi penerbit. Internet juga memberikan ruang baru sebagai media aktualisasi dari beberapa self publisher dalam mempublikasikan karyanya, ruang virtual dalam world wide web akhir-akhir ini menjadi media yang dianggap efektif dan dikehendaki oleh banyak self publisher dalam mengaktualisasikan karyanya, sebagaimana dijelaskan Carr (2000) berikut ini:
the advent of word processing, of computer typesetting, and of dekstop publishing has brought down the cost if book production more dramatically than even the invention of printing from movable type did five and half centuries ago. Everbody and anybody can be a publisher today. And while the virtual places of the world wide web appear to satisfy every large number of self-publisher, there are still very many for whom the tangibility and substance of print-of-paper remains, for the time being at least, the most effective and desirable medium for their products”.
Internet memungkinkan penyebaran pengetahuan melintasi batas ruang dan waktu, namun di sisi lain internet juga memberikan kerumitan terhadap penegakan hak cipta karena kemudahan untuk menyimpan informasi dalam suatu sumber informasi elektronik oleh seorang information seeker yang kemudian menjadikannya dokumen milik pribadi, dan tidak menutup kemungkinan juga menyebarkannya pada pihak lain. Dalam dunia virtual seperti world wide web, informasi yang terjamin kualitasnya dalam artian dapat dipertanggung jawabkan biasanya memiliki pembatasan hak akses bagi member saja. Ini merupakan salah satu bentuk penyaringan atas kualitas informasi di internet, sebagaimana kegiatan peer review pada proses penerbitan buku. Upaya melindungi hak intelektual penulis pada dokumen elektronik dilakukan dengan salah satu metode pengamanan seperti watermarking untuk menjaga orisinalitas tulisan terhadap pengubahan isi informasi secara ilegal, memasang security code dalam penggunaan hak akses informasi namun masih tetap saja ada celah dengan bekal kemapanan pengetahuan Information Communication Technology oleh generasi saat ini untuk menerobos security code tersebut.
Perkembangan teknologi informasi memberikan arah kemajuan yang pesat dalam industri penerbitan buku karena proses penerbitan dapat dilakukan dengan lebih mudah, lebih cepat, dan memungkinkan untuk produksi dalam jumlah besar. 
Perubahan perilaku membaca dalam bentuk digital dan implikasinya pada industri penerbitan buku cetak di masa depan.
Perkembangan teknologi informasi juga berimplikasi pada bagaimana cara penyampaian dari pengetahuan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berkembangnya situs e-journal dan e-book berbayar maupun gratis yang menyajikan pengetahuan dalam bentuk elektronik. Beberapa instansi seperti universitas, perpustakaan, kantor pemerintah dan lainnya telah memiliki wireless internet connection sehingga memungkinkan akses beragam informasi apapun, kapanpun, dan dimanapun dengan hanya duduk di tempat, kemudian ditunjang dengan storage media yang semakin portable untuk meyimpannya informasi berupa softcopy dalam kapasitas yang besar dibandingkan jika harus membawa setumpuk buku tercetak. Masih menjadi perdebatan apakah kehadiran format digital memberikan ancaman bagi eksistensi industri penerbitan buku.
Baik buku maupun dokumen elektronik yang diperoleh internet memiliki sisi keunggulan dan kelemahan masing-masing ditinjau dari segi kenyamanan dalam aktivitas membaca dan penyimpanannya. Buku memiliki beberapa keunggulan antara lain mudah dibawa, muatan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, mudah untuk dibaca setiap saat tanpa harus menyediakan teknologi canggih untuk membacanya. Sedangkan kelemahannya adalah beban fisik yang berat jika dalam jumlah banyak yang seringkali menimbulkan kesulitan untuk membawanya. Dari segi penyimpanannya, buku membutuhkan banyak ruang untuk menyimpan, karena ruangan harus dibuat suatu ruangan yang khusus dimana suhu ruangan tersebut terjaga dengan baik, agar bentuk dari dokumen tersebut tidak rusak dan masih terjaga keasliannya. Waktu yang dibutuhkan juga menjadi kelemahan informasi dalam bentuk hardcopy ini, karena untuk menyimpan informasi tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengklasifikasikannya dalam bentuk katalogisasi dan membutuhkan waktu untuk mencari informasi tersebut. Di sisi lain, kehadiran internet menyajikan informasi dalam bentuk elektronik yang disinyalir menimbulkan perubahan perilaku membaca dalam bentuk digital dan memberikan tandingan bagi keberadaan buku.
Dokumen elektronik memiliki keunggulan antara lain mudah membuat salinan dokumen yang dimuat dalam sebuah world wide web melalui menu save, dapat disimpan dalam satu storage media secara praktis, dan relatif mudah dalam temu kembali terutama bila dokumen elektronik terorganisasikan dengan baik. Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan sarana pendukung berupa notebook serta keterampilan untuk mengoperasionalisasikannya, membutuhkan effort yang lebih untuk menghadapi radiasi pada layar komputer ketika kegiatan membaca berlangsung. keberadaan virus yang sewaktu-waktu dapat menginfeksi file menyebabkan kehilangan atau kerusakan data, keterbatasan jangka waktu penggunaan storage media yang seringkali dilupakan oleh banyak orang sehingga yang seringkali terjadi adalah kerusakan tiba-tiba dari storage media, sementara pemiliknya belum sempat menyimpan ke media lain, atau mencetaknya dalam bentuk hardcopy.
Perilaku membaca perlu dilakukan secara linear artinya perlu membaca secara runtut setiap penjelasan untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh. Perilaku membaca buku tercetak masih memungkinkan pembaca untuk membaca linear karena bentuk buku tercetak yang mudah dibaca aetiap waktu tanpa memerlukan sarana pendukung lainnya, sedangkan membaca dokumen dalam bentuk elektronik seringkali membuat tidak semua pembaca dapat bertahan untuk membaca linear karena radiasi layar komputer yang membuat mata lebih cepat lelah. Secara keseluruhan, kenyamanan dalam aktivitas membaca dan mengorganisasikan kedua jenis dokumen tersebut bergantung pada kesesuaian dari masing-masing personal yang sifatnya relatif. Bagaimana dengan isu bahwa kehadiran format digital memberikan ancaman bagi eksistensi industri penerbitan buku seiring dengan munculnya fenomena perubahan perilaku membaca dalam bentuk digital?
Industri buku memang patut waspada terhadap keberlanjutan produksinya. Carr (2007) menjelaskan hanya beberapa jenis buku tercetak yang masih dapat bertahan di tengah berkembangnya era digital :
indeed, in considering the present and futur of the book, it is still true to say, even in this modern times, that the printed book, in all it forms, remains one of the most common and convenient methods of communication. The younger generations, we are rold, read fewer books than their parents used to do. And yet, J.K. Rowling’s overnight Harry Potter publishing sensation would seem to suggest the certain kinds of books are still very far from outmoded. The scholarly may be on the wane : smaller editions are printted, and computer-typesetting enables extra copies to be printed on-demand. But the Barbara Taylor Bradfords and Catherine Cooksons are still sold and read in their hundreds of million of printed copies. Furthemore, the battles between the booksellers, on the high street as well as on the internet,  shooul be enough to indicate that the repinted books is still alive and well, and it most definetly not on terminal decline”.
Dari data yang disebutkan di atas, diketahui bahwa penerbitan buku yang masih memegang eksistensinya dalam terpaan era digital hanyalah penerbitan pada genre tertentu yaitu bacaan populer seperti novel Harry Potter karya J.K. Rowling, Barbara Taylor Bradfords and Catherine Cooksons yang masih tetap terjual dan terus dibaca dalam versi tercetak dengan jumlah jutaan. Kepopuleran jenis bacaan ini menunjukkan bahwa jenis buku ini jauh dari anggapan kuno sekalipun tersedia versi elektroniknya. Pertempuran antara penjualan buku secara nyata dalam sebuah toko buku juga masih sebagus yang dilakukan di internet. Sehingga menjadi sebuah bukti yang cukup bahwa keberadaan buku tercetak masih tetap ‘hidup’.
Kepopuleran buku tercetak pada genre bacaan umum berupa novel populer memberikan sebuah daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Pembaca novel Harry Potter senantiasa antusias menunggu hadirnya cerita selanjutnya tanpa mengenal lelah meski harus membaca buku dengan halaman yang tebal sekalipun. Di Indonesia, bacaan berupa novel populer dan pengetahuan praktis banyak diminati sehingga jumlah produksinya jauh melampaui produksi buku tercetak seperti buku pelajaran. Di Indonesia, sejak 10 tahun terakhir pasar perbukuan di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan ilmu dan informasi. Fenomena Best Seller di Indonesia bergeser dari 10.000 eksemplar ke 50.000 eksemplar sebagai angka tertinggi pada penjualan buku non pelajaran. Salemba 4 dan MU3 meyatakan bahwa kondisi penerbitan buku di Indonesia yang menerbitkan buku pelajaran dan buku pendidikan tinggi tidak terlalu menjanjikan.
Eksistensi dunia penerbitan buku yang masih menjanjikan dan mampu bertahan dalam terpaan era digital adalah pada penerbitan buku tercetak dalam genre tertentu saja yaitu npvel populer. Motivasi membaca adalah suatu keinginan atau kemauan yg merupakan kekuatan yg mendorong seseorang untuk memperhatikan, merasa tertarik dan senang thd aktivitas membaca tsb dg kemauannya sendiri. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegemaran membaca buku tercetak dalam kasus bacaan novel populer seperti Harry Potter lebih besar dipengaruhi oleh antusiasme terhadap jalannya cerita, kemudahan membaca dalam bentuk tercetak kapan saja dan dimana saja sebagai pendorong masih terjaganya budaya membaca buku tercetak meski harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli buku versi tercetaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar