TEKNOLOGI TUNTUT PERKEMBANGAN MEDIA
Dampak IT terhadap Proses Penerbitan Buku pada Umumnya.
Perkembangan teknologi
informasiyang pesat memberikan peluang serta tantangan dalam berbagai bidang
kehidupan, salah satunya adalah dalam proses penerbitan buku. Bermula dari
ditemukannya mesin cetak oleh Guttenberg pada tahun 1455, yang kemudian
berkembang dengan sentuhan inovasi dalam teknologi percetakan dalam upayanya
memperoleh prinsip efektivitas serta efisiensi dalam proses penerbitan buku.
Mesin cetak Guttenberg dengan fungsi sederhana menjadi titik awal
dimungkinkannya proses pencetakan buku dilakukan dalam jumlah yang lebih besar,
lebih cepat, dan lebih mudah dibandingkan saat dilakukan dengan cara menulisnya.
Inovasi dalam teknologi pencetakan berupa computer, mesin reprografi serta
internet berimplikasi besar memberikan perubahan dalam proses penerbitan buku
serta distribusinya. Sulistyo (2000) menjelaskan bahwa:
“Teknologi
yang diperlukan untuk mencetak buku seperti mesin cetak dan mesin piƱata huruf
sangat mudah diperoleh dan tidak terlalu mahal dan dapat terjangkau bagi
sebagian negra. Demikian juga kertas dan bahan baku lain yang diperlukan untuk
memproduksi buku pada umumnya tersedia, meskipun harga kertas berkualitas untuk
mencetak cenderung sangat berfluktuasi. Inovasi teknologi bru, seperti
penerbitan dengan desktop publishing dengan bantuan computer, reprografi, dan
lain-lain menurunkan biaya produksi buku di wilayah-wilayah ketika teknologi
ini dapat diperoleh, buku dapat didistribusikan dengan amat mudah”
Perkembangan teknologi informasi
memberikan dampak pada beberapa kegiatan dalam proses penerbitan buku,
diantaranya adalah kegiatan editing, formatting, marketing hingga teknik
reprografi yang berkembang.
Komputer memberikan kemudahan
dalam pelaksanaan proses editing dan formatting sebagai salah satu tahap
dalam proses penerbitan buku menjadi lebih mudah. Kamus besar bahasa Indonesia
(1997) mendefinisikan “editing adalah
mempersiapkan naskah yang siap cetak atau terbit dengan memperhatikan segi
ejaan, diksi, dan sstruktur kalimat”. Naskah yang sudah melalui tahap editing selanjutnya memasuki tahap formatting. Sulistyo (2000)
mendefinisikan “formatting adalah setting huruf dan penyusunan halaman
naskah yang sudah diset dikembalikan kepada penulis untuk diperiksa kembali
jikalau masih ada kesalahan ejaan dan tanda baca”. Keberadaan computer serta software dalam bentuk program yang
canggih juga memudahkan bagian artistic dlam proses penerbitan buku untk
membuat desain cover buku agar lebih
bagus dan menarik. Cover merupakan
tampilan luar yang akan memberikan kesan pertamma yang ikut menentukan
penilaian dan keputusan selanjutnya, meski ada pepatah yang mengatakan Don’t Judge the Book by It’s Cover.
Sulistyo (2000) menjelaskan “sampul adalah nilai jual, sekaligus mencerminkan
substansi buku dan bahkan karakter penulisnya”.
Inovasi yang berkembang dalam teknologi penerbitan
selanjutnya adalah mesin fotocopy. Mesin fotocopy merupakan salah
satu mesin reprografi yang diminati banyak orang ketika menggandakan dokumen
yang dibutuhkannya karena memungkinkan untuk membuat salinan sebuah dokumen
dengan cepat dan biaya yang lebih murah dibandingkan harus membeli lagi dokumen
asli yang telah melalui proses penerbitan legal namun dengan harga yang lebih
mahal. Penyelenggaraan pendidikan juga tidak luput memanfaatkan fotocopy bahan
ajar karena alasan keterbatasan finansial yang diharapkan meringankan bagi
peserta didik. Kondisi perekonomian Indonesia sebagai negara berkembang
masih dihadapkan pada keterbatasan daya beli masyarakat dengan beragam
kebutuhan utama yang tidak dapat ditunda pemenuhannya sehingga membeli buku
masih menjadi kebutuhan ketika ada pendapatan yang berlebih. Menjadi dilematis
karena hak cipta belum memperoleh kejelasan, di sisi lain fotocopy dalam
kaitannya dengan hak cipta semakin ditoleransi secara sepihak. Sulistyo (2000)
menyebutkan “di beberapa negara, pemakai fotokopi harus membayar kepada pemegang
hak cipta. Di beberapa negara yang lain, terutama swedia, penerbit dan
pengarang dibayar royaltinya berdasarkan pemakaian buku di perpustakaan”. Dalam
pembahasan lainnya Sulistyo (2000) menyebutkan “tentu hak cipta melindungi
pemilik hak intelektual dan kadang-kadang sulit bagi orang-orang di
negara-negara yang mempunyai daya beli terbatas dan hanya sedikit sumber
penerbitan untuk mendapatkan akses pada buku-buku. Hak cipta, dalam hal ini,
memperkuat sistem ketidaksetaraan pengetahuan”.
Internet semakin memperlengkap fungsi komputer yang awalnya
membantu pelaksanaan ‘fungsi editorial’ ditambah lagi dengan ‘fungsi marketing’
sehingga memungkinkan pemasaran secara internasional sejalan dengan hadirnya
globalisasi. Bagi penerbit, kehadiran internet tentu memberikan peluang untuk
memperluas pemasaran buku, namun juga memberikan tantangan karena kompetisi
perebutan pangsa pasar semakin terbuka sehingga penerbit harus dapat
menampilkan cara penawaran yang menarik dan berbeda. Okezone.com merupakan
contoh pemasaran buku secara online dengan memanfaatkan jaringan
internet. Cara pemasaran lain yang dilakukan melalui internet diungkapkan oleh
Sulistyo (2000) : “banyak penerbit melengkapi usaha penjualan buku melalui toko
buku dengan direct marketing, pemasaran langsung. Di amerika, penerbit
menengah dan besar umumnya mengembangkan klub membaca. Konsumen menjadi anggota
klub dan secara teratur menerima informasi mengenai buku-buku baru yang akan
diterbitkan”. Dari data tersebut ditunjukkan bahwa kehadiran internet menjadikan
penerbit semakin giat menyajikan informasi beragam buku yang ditawarkan, dan
memfasilitasi kenyamanan konsumen dengan menawarkan kegiatan yang interaktif
sebagai inovasi dalam konsep pemasarannya.
Saat ini, setiap orang dapat menjadi penerbit. Internet juga
memberikan ruang baru sebagai media aktualisasi dari beberapa self publisher
dalam mempublikasikan karyanya, ruang virtual dalam world wide web akhir-akhir
ini menjadi media yang dianggap efektif dan dikehendaki oleh banyak self
publisher dalam mengaktualisasikan karyanya, sebagaimana dijelaskan Carr
(2000) berikut ini:
“the
advent of word processing, of computer typesetting, and of dekstop publishing
has brought down the cost if book production more dramatically than even the
invention of printing from movable type did five and half centuries ago.
Everbody and anybody can be a publisher today. And while the virtual places of
the world wide web appear to satisfy every large number of self-publisher,
there are still very many for whom the tangibility and substance of
print-of-paper remains, for the time being at least, the most effective and
desirable medium for their products”.
Internet memungkinkan penyebaran pengetahuan melintasi batas
ruang dan waktu, namun di sisi lain internet juga memberikan kerumitan terhadap
penegakan hak cipta karena kemudahan untuk menyimpan informasi dalam suatu
sumber informasi elektronik oleh seorang information seeker yang
kemudian menjadikannya dokumen milik pribadi, dan tidak menutup kemungkinan
juga menyebarkannya pada pihak lain. Dalam dunia virtual seperti world wide
web, informasi yang terjamin kualitasnya dalam artian dapat
dipertanggung jawabkan biasanya memiliki pembatasan hak akses bagi member saja.
Ini merupakan salah satu bentuk penyaringan atas kualitas informasi di
internet, sebagaimana kegiatan peer review pada proses penerbitan buku.
Upaya melindungi hak intelektual penulis pada dokumen elektronik dilakukan
dengan salah satu metode pengamanan seperti watermarking untuk menjaga
orisinalitas tulisan terhadap pengubahan isi informasi secara ilegal, memasang security
code dalam penggunaan hak akses informasi namun masih tetap saja ada celah
dengan bekal kemapanan pengetahuan Information Communication Technology
oleh generasi saat ini untuk menerobos security code tersebut.
Perkembangan teknologi informasi memberikan arah kemajuan
yang pesat dalam industri penerbitan buku karena proses penerbitan dapat
dilakukan dengan lebih mudah, lebih cepat, dan memungkinkan untuk produksi
dalam jumlah besar.
Perubahan perilaku membaca dalam bentuk digital dan
implikasinya pada industri penerbitan buku cetak di masa depan.
Perkembangan teknologi informasi juga berimplikasi pada
bagaimana cara penyampaian dari pengetahuan itu sendiri. Hal ini dapat dilihat
dari berkembangnya situs e-journal dan e-book berbayar maupun gratis yang
menyajikan pengetahuan dalam bentuk elektronik. Beberapa instansi seperti
universitas, perpustakaan, kantor pemerintah dan lainnya telah memiliki wireless
internet connection sehingga memungkinkan akses beragam informasi apapun,
kapanpun, dan dimanapun dengan hanya duduk di tempat, kemudian ditunjang dengan
storage media yang semakin portable untuk meyimpannya informasi
berupa softcopy dalam kapasitas yang besar dibandingkan jika harus
membawa setumpuk buku tercetak. Masih menjadi perdebatan apakah kehadiran
format digital memberikan ancaman bagi eksistensi industri penerbitan buku.
Baik buku maupun dokumen elektronik yang diperoleh
internet memiliki sisi keunggulan dan kelemahan masing-masing ditinjau dari
segi kenyamanan dalam aktivitas membaca dan penyimpanannya. Buku memiliki
beberapa keunggulan antara lain mudah dibawa, muatan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan, mudah untuk dibaca setiap saat tanpa harus menyediakan
teknologi canggih untuk membacanya. Sedangkan kelemahannya adalah beban fisik
yang berat jika dalam jumlah banyak yang seringkali menimbulkan kesulitan untuk
membawanya. Dari segi penyimpanannya, buku membutuhkan banyak ruang untuk
menyimpan, karena ruangan harus dibuat suatu ruangan yang khusus dimana suhu
ruangan tersebut terjaga dengan baik, agar bentuk dari dokumen tersebut tidak
rusak dan masih terjaga keasliannya. Waktu yang dibutuhkan juga menjadi
kelemahan informasi dalam bentuk hardcopy ini, karena untuk menyimpan
informasi tersebut dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengklasifikasikannya
dalam bentuk katalogisasi dan membutuhkan waktu untuk mencari informasi
tersebut. Di sisi lain, kehadiran internet menyajikan informasi dalam bentuk
elektronik yang disinyalir menimbulkan perubahan perilaku membaca dalam bentuk
digital dan memberikan tandingan bagi keberadaan buku.
Dokumen elektronik memiliki keunggulan antara lain
mudah membuat salinan dokumen yang dimuat dalam sebuah world wide web
melalui menu save, dapat disimpan dalam satu storage media secara
praktis, dan relatif mudah dalam temu kembali terutama bila dokumen elektronik
terorganisasikan dengan baik. Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan sarana
pendukung berupa notebook serta keterampilan untuk mengoperasionalisasikannya,
membutuhkan effort yang lebih untuk menghadapi radiasi pada layar
komputer ketika kegiatan membaca berlangsung. keberadaan virus yang
sewaktu-waktu dapat menginfeksi file menyebabkan kehilangan atau kerusakan
data, keterbatasan jangka waktu penggunaan storage media yang seringkali
dilupakan oleh banyak orang sehingga yang seringkali terjadi adalah kerusakan
tiba-tiba dari storage media, sementara pemiliknya belum sempat
menyimpan ke media lain, atau mencetaknya dalam bentuk hardcopy.
Perilaku membaca perlu dilakukan secara linear artinya perlu
membaca secara runtut setiap penjelasan untuk memperoleh pemahaman yang
menyeluruh. Perilaku membaca buku tercetak masih memungkinkan pembaca untuk
membaca linear karena bentuk buku tercetak yang mudah dibaca aetiap waktu tanpa
memerlukan sarana pendukung lainnya, sedangkan membaca dokumen dalam bentuk
elektronik seringkali membuat tidak semua pembaca dapat bertahan untuk membaca
linear karena radiasi layar komputer yang membuat mata lebih cepat lelah. Secara
keseluruhan, kenyamanan dalam aktivitas membaca dan mengorganisasikan kedua
jenis dokumen tersebut bergantung pada kesesuaian dari masing-masing personal
yang sifatnya relatif. Bagaimana dengan isu bahwa kehadiran format digital
memberikan ancaman bagi eksistensi industri penerbitan buku seiring dengan
munculnya fenomena perubahan perilaku membaca dalam bentuk digital?
Industri buku memang patut waspada terhadap keberlanjutan
produksinya. Carr (2007) menjelaskan hanya beberapa jenis buku tercetak yang
masih dapat bertahan di tengah berkembangnya era digital :
“
indeed, in considering the present and futur of the book, it is still true
to say, even in this modern times, that the printed book, in all it forms,
remains one of the most common and convenient methods of communication. The
younger generations, we are rold, read fewer books than their parents used to
do. And yet, J.K. Rowling’s overnight Harry Potter publishing sensation would
seem to suggest the certain kinds of books are still very far from outmoded.
The scholarly may be on the wane : smaller editions are printted, and
computer-typesetting enables extra copies to be printed on-demand. But the
Barbara Taylor Bradfords and Catherine Cooksons are still sold and read in
their hundreds of million of printed copies. Furthemore, the battles between
the booksellers, on the high street as well as on the internet, shooul be
enough to indicate that the repinted books is still alive and well, and it most
definetly not on terminal decline”.
Dari data yang disebutkan di atas, diketahui bahwa
penerbitan buku yang masih memegang eksistensinya dalam terpaan era digital
hanyalah penerbitan pada genre tertentu yaitu bacaan populer seperti novel
Harry Potter karya J.K. Rowling, Barbara Taylor Bradfords and
Catherine Cooksons yang masih tetap terjual dan terus dibaca dalam versi
tercetak dengan jumlah jutaan. Kepopuleran jenis bacaan ini menunjukkan bahwa
jenis buku ini jauh dari anggapan kuno sekalipun tersedia versi elektroniknya.
Pertempuran antara penjualan buku secara nyata dalam sebuah toko buku juga
masih sebagus yang dilakukan di internet. Sehingga menjadi sebuah bukti yang
cukup bahwa keberadaan buku tercetak masih tetap ‘hidup’.
Kepopuleran buku tercetak pada genre bacaan umum berupa
novel populer memberikan sebuah daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Pembaca
novel Harry Potter senantiasa antusias menunggu hadirnya cerita selanjutnya
tanpa mengenal lelah meski harus membaca buku dengan halaman yang tebal
sekalipun. Di Indonesia, bacaan berupa novel populer dan pengetahuan praktis
banyak diminati sehingga jumlah produksinya jauh melampaui produksi buku
tercetak seperti buku pelajaran. Di Indonesia, sejak 10 tahun terakhir pasar
perbukuan di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kebutuhan ilmu dan informasi. Fenomena Best Seller di Indonesia
bergeser dari 10.000 eksemplar ke 50.000 eksemplar sebagai angka tertinggi pada
penjualan buku non pelajaran. Salemba 4 dan MU3 meyatakan bahwa kondisi
penerbitan buku di Indonesia yang menerbitkan buku pelajaran dan buku
pendidikan tinggi tidak terlalu menjanjikan.
Eksistensi dunia penerbitan buku yang masih menjanjikan dan
mampu bertahan dalam terpaan era digital adalah pada penerbitan buku tercetak
dalam genre tertentu saja yaitu npvel populer. Motivasi membaca adalah suatu
keinginan atau kemauan yg merupakan kekuatan yg mendorong seseorang untuk
memperhatikan, merasa tertarik dan senang thd aktivitas membaca tsb dg
kemauannya sendiri. Kondisi ini menunjukkan bahwa kegemaran membaca buku
tercetak dalam kasus bacaan novel populer seperti Harry Potter lebih besar
dipengaruhi oleh antusiasme terhadap jalannya cerita, kemudahan membaca dalam
bentuk tercetak kapan saja dan dimana saja sebagai pendorong masih terjaganya
budaya membaca buku tercetak meski harus mengeluarkan biaya lebih untuk membeli
buku versi tercetaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar